'
Jakarta, (Supernews)- Kalangan organisasi lingkungan mendesak pemerintah meninjau ulang rencana pemutihan kebun sawit di kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar di Indonesia. Mereka menyebut, kebijakan itu membahayakan lingkungan dan cenderung menguntungkan korporasi besar.
Seturut identifikasi Pantau Gambut, dari keseluruhan kebun sawit yang hendak diputihkan sekitar 407.000 hektar atau 13-14%, berada di kesatuan hidrologis gambut (KHG).Kawasan-kawasan itu berada dalam kategori rentan terbakar.
Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut mengatakan, sebanyak 72% kebun sawit di KHG yang akan diputihkan berada dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang (medium risk), 27% kategori rentan terbakar tingkat tinggi (high risk).
“Analisa sepanjang 2023, medium dan high risk yang kami proyeksikan pada Maret (terjadi kebakaran hutan), itu terjadi sekarang. Di area KHG saja,” katanya, dalam keterangan bersama TuK Indonesia, Pantau Gambut dan Greenpeace Indonesia, 25 Oktober lalu.
Pantau Gambut juga mendapati 11 grup korporasi dalam skema pemutihan di KHG, yang punya histori luasan area terbakar pada karhutla 2015-2020. Temuan itu, mereka peroleh setelah mengolah data burn area Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Ironisnya, 91,64% pemegang konsesi tidak menanggulangi dan memulihkan kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla yang terjadi di wilayahnya,” kata Wahyu.
Pantau Gambut juga mendapati, dari 32 perusahaan sawit yang beroperasi di area KHG, hanya lima yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya. Sedangkan, 27 perusahaan (84%) beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.
Atas situasi itu, Wahyu menilai, kebijakan pemutihan 3,3 juta hektar kebun sawit di kawasan hutan bertentangan dengan komitmen nationally determined contributions (NDC) Indonesia. Juga, menimbulkan pertanyaan terkait supremasi penegakan hukum bidang lingkungan hidup dan berdampak negatif bagi citra Indonesia sebagai pengusung ekonomi hijau.
Dari sisi ekonomi, Tuk Indonesia dalam studi kasus di Kalimantan Tengah (Kalteng) menemukan, realisasi pajak dari sektor sawit jauh dari potensi penerimaan. Padahal, pendapatan negara disebut sebagai salah satu alasan pemutihan kebun sawit di kawasan hutan.
Abdul Haris, pengkampanye TuK Indonesia mengatakan, dari potensi Rp6,4 triliun, perkebunan sawit di Kalteng disebut hanya mampu merealisasikan Rp2,3 triliun. Angka itupun disebut realisasi pajak dari seluruh sektor.
“Temuan itu menunjukkan tidak rasionalnya jadikan pendapatan negara sebagai alasan memutihkan kebun sawit di kawasan hutan,” katanya.
Ditambah lagi, dari 320 usaha yang akan diputihkan, hanya 72 terdaftar di Kalteng. Selebihnya, 173 usaha tak memiliki izin perkebunan.
Dia juga mengingatkan, lembaga jasa keuangan untuk memperhatikan masalah ini. Berdasarkan catatan Tuk Indonesia, terdapat 25 kelompok perusahaan besar yang mendapat sokongan pembiayaan dari lembaga jasa keuangan.
Perusahaan-perusahaan itu disebut memiliki total lahan perkebunan seluas 3,9 juta hektar di Indonesia.
Aris menilai, jasa keuangan tidak bisa terpisahkan dari masalah ini. Apalagi, produk-produk sawit di kawasan hutan akan mengalir ke negara-negara rantai pasok, seperti Amerika dan Eropa. Negara-negara yang disebutnya punya standar berkelanjutan.
“Ini seharusnya mejadi perhatian serius lembaga jasa keuangan dalam mengevaluasi pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti menanam sawit di dalam kawasan hutan, bahkan terlibat dalam kebakaran hutan,” katanya.
Tiga fase
Rencana pemutihan kebun sawit di kawasan hutan bukanlah yang pertama kali terjadi. Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, melalui PP 60 tahun 2012, pemerintah telah memberi peluang pelepasan kawasan hutan.
Syaratnya, pemegang izin di areal hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) wajib mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada menteri. “Dengan batas waktu paling lama enam bulan,” katanya.
Pada fase kedua, PP 60/2012 diubah jadi PP 104/2015. Lewat PP ini, masa tenggang mengajukan pelepasan kawasan hutan juga bertambah jadi satu tahun. Selain itu, perkebunan di kawasan hutan lindung dan konservasi diberi kesempatan melanjutkan usaha selama satu daur tanaman pokok.
“Di kedua fase itu, perusahaan-perusahaan masih ekspansi kawasan hutan. Padahal, ada UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, tegas melarang aktivitas di luar kehutanan. Bawa golok saja bisa dipidana. Tapi perusahaan masih menebang di kawasan hutan,” ujar Syahrul.
Di fase ketiga, UU Cipta Kerja menyisipkan dua pasal dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pasal 110 A menyediakan masa tenggang selama tiga tahu–hingga 2 November 2023–bagi setiap orang yang memiliki perizinan berusaha dalam kawasan hutan untuk menyelesaikan persyaratan. Juga, mengubah sanksi pidana jadi sanksi administratif, seperti denda atau pencabutan perizinan berusaha.
Lalu, Pasal 110 B mengatur pemberian sanksi bagi setiap orang yang tanpa memiliki perizinan berusaha, melakukan kegiatan lain di kawasan hutan, sebelum 2 November 2023.
Sanksi yang dimaksud adalah penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif dan paksaan pemerintah.
“Perkebunan sawit yang beroperasi ilegal adalah pihak paling diuntungkan dengan UU Cipta Kerja. Termasuk Pasal 110 A dan 110 B yang memberikan peluang pemutihan untuk sawit-sawit ilegal di kawasan hutan ini,” lanjutnya.
Berdasarkan catatan Greenpeace dan TheTreeMap, total tanaman sawit dalam kawasan hutan di Indonesia seluas 3.118.804 hektar. Sawit-sawit itu juga berada di hutan konservasi dan lindung, masing-masing seluas 90.200 hektar dan 146.871 hektar.
Syahrul menilai, persoalan itu memperlihatkan tata kelola buruk, tidak ada transparansi dan penegakan hukum lemah. Alih-alih memperbaiki, pemerintah justru memutihkan kebun sawit di kawasan hutan.
Mereka mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuka nama-nama perusahaan yang akan diputihkan pada 2 November ini.
“Artinya, setelah itu tidak ada lagi mekanisme pemutihan,” katanya.
Apa kata pemerintah? Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK mengatakan, pendekatan hukum dalam UU Cipta Kerja adalah ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif.
Pengenaan sanksi administratif, katanya, untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat di dalam kawasan.
“Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktivitas dalam kawasan sebelum UU Cipta Kerja. Jika masih melakukan kegiatan setelah UU Cipta Kerja disahkan, langsung kena penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif,” kata Bambang.
Luhut B. Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, menyebut, akan menindak tegas pelaku usaha yang tak menghiraukan upaya pemerintah memperbaiki tata kelola sawit.
Berdasarkan tangkapan satelit 2021, tutupan sawit diketahui mencapai 16,8 juta hektar, dengan 3,3 juta hektar dalam kawasan hutan. Dari hasil audit, pemerintah menemukan banyak perusahaan belum memiliki izin seperti Izin Lokasi, perkebunan, dan hak guna usaha.
“Kami berharap, persoalan ini dapat diselesaikan dengan mekanisme Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja,” kata Luhut dikutip dari situs Kemenko Marves.
“Ke depan, satgas akan mendorong setiap pelaku usaha berkewajiban melengkapi izin-izin yang diperlukan,” lanjutnya.**
![]() |
DKPP RI Putuskan Rehabilitasi Nama Baik Rahmat Bagja Terkait Dua Perkara Selasa, 5 Desember 2023 | 16:44:00 WIB |
![]() |
Jangan Bandel Ya! Bawaslu 'Pelototi' Penggunaan Dana Kampanye Pemilu 2024 Selasa, 5 Desember 2023 | 15:38:00 WIB |
![]() |
Anggota Komisi II DPR Tolak Usulan Pemerintah Tentang RUU DKI Jakarta Yang Inginkan Gubernur Dipilih dan Ditunjuk Oleh Presiden Selasa, 5 Desember 2023 | 15:28:24 WIB |
![]() |
Berikut Daftar 7 Hakim Agung MA Yang Disetujui Dalam Paripurna DPR Hari ini Selasa, 5 Desember 2023 | 15:15:38 WIB |
![]() |
Bawaslu Inginkan Pemilih Pemula jadi Aktor Utama Pengawasan Pemilu 2024 Selasa, 5 Desember 2023 | 14:41:00 WIB |
![]() |
Bahas Izin Mendirikan TPS, KPU Rakor Bersama PPLN Hong Kong dan Makau Selasa, 5 Desember 2023 | 13:35:00 WIB |
![]() |
KPU Pastikan Debat Capres-Cawapres 2024 Pertama dan Terakhir di Kantornya Selasa, 5 Desember 2023 | 12:31:42 WIB |
![]() |
TNI Integratif Bersinergi Dengan Kementan RI Dukung Ketahanan Pangan Wujudkan Swasembada Pangan Selasa, 5 Desember 2023 | 12:16:30 WIB |
![]() |
Kontroversi Pernyataan Politisi PSI Ade Armando Mengenai Politik Dinasti DIY Selasa, 5 Desember 2023 | 12:03:52 WIB |
![]() |
Jadwal Pengumuman Hasil Tes PPPK 2023 dan Tahapan Selanjutnya yang Wajib Diikuti Selasa, 5 Desember 2023 | 11:47:11 WIB |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Duh, Gibran Kepleset Sebut Asam Folat Jadi Asam Sulfat Selasa, 5 Desember 2023 | 11:16:00 WIB |
![]() |
Kejakgung Ingatkan Aparatur Desa Harus Netral dalam Pemilu 2024 Selasa, 5 Desember 2023 | 00:13:00 WIB |
![]() |
Gibran Bagi-Bagi Susu di CFD Sudirman-Thamrin, Bawaslu Jakarta: Tidak Boleh! Senin, 4 Desember 2023 | 18:49:00 WIB |
![]() |
Usai Dikunjungi Kaesang, Dokter Cantik Ragilda Rachma Optimis Sukses Melenggang ke Senayan Senin, 4 Desember 2023 | 18:18:33 WIB |
![]() |
Kunjungi Kota Malang, Kaesang Ajak Influencer Sosialisasikan Prabowo-Gibran Senin, 4 Desember 2023 | 18:03:10 WIB |
![]() |
Ogah Kebobolan Pelanggaran Pemilu 2024, Bawaslu 'Gercep' Bentuk Tim Pengawasan Kampanye Senin, 4 Desember 2023 | 17:57:00 WIB |
![]() |
KPU Tekankan Lembaganya Tidak Pernah Merencanakan Hapus Debat Cawapres Senin, 4 Desember 2023 | 17:44:00 WIB |
![]() |
KPU Akui Muncul Pembahasan Kehadiran Capres-Cawapres Dalam Debat Secara Bersamaan Senin, 4 Desember 2023 | 16:39:00 WIB |
![]() |
Informasikan Polri-KPU, BSSN Serahkan Laporan Investigasi Forensik Digital DPT Pemilu Senin, 4 Desember 2023 | 15:36:00 WIB |
![]() |
Komisi II DPR Tegaskan Honorer Bekerja Lima Tahun Harus Diangkat PPPK Senin, 4 Desember 2023 | 14:32:22 WIB |
![]() |
Jelang Masa Jabatannya Berakhir, Jokowi Minta Pembangunan di Daerah Selaras dengan Pusat Rabu, 29 November 2023 | 14:08:05 WIB |
![]() |
Pemerintah Berencana Beri Insentif Lebih Bagi Guru Yang Ditugaskan di Daerah Tertinggal Selasa, 28 November 2023 | 15:38:13 WIB |
![]() |
Masuki Masa Kampanye, Bawaslu Imbau Peserta Pemilu Lebih Kedepankan Visi-Misi Senin, 27 November 2023 | 15:49:00 WIB |
![]() |
Prabowo dan Gibran Tidak Perlu Mengundurkan Diri Dari Jabatan Mereka, Ini Aturannya Sudah Dikeluarkan Jokowi Jumat, 24 November 2023 | 14:40:14 WIB |
![]() |
![]() |
---|---|
Presiden Melantik Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto di Istana Negara Kamis, 23 November 2023 | 16:01:46 WIB |
|
![]() |
![]() |
![]() |
Likuifaksi Tanah Diduga Penyebab Banjir Bandang dan Lonsor Bebatuan Yang Terjadi di Humbahas Senin, 4 Desember 2023 | 10:37:37 WIB |
![]() |
Sosialisasikan Ganjar-Mahfud di Malang, JAMAN Gelar Senam Sehat Yang Diikuti Ribuan Masyarakat Senin, 4 Desember 2023 | 09:58:40 WIB |
![]() |
Gelar Kompetisi UMKM, Asandra Salsabila Sediakan Modal Usaha Bagi Pemenang Jumat, 1 Desember 2023 | 14:27:14 WIB |
![]() |
Sekdaprov Riau, SF Hariyanto Tak Masuk dalam Rekomendasi Tokoh Masyarakat Riau Kamis, 30 November 2023 | 22:54:02 WIB |
![]() |
Kontroversi Pernyataan Politisi PSI Ade Armando Mengenai Politik Dinasti DIY Selasa, 5 Desember 2023 | 12:03:52 WIB |
![]() |
Kejakgung Ingatkan Aparatur Desa Harus Netral dalam Pemilu 2024 Selasa, 5 Desember 2023 | 00:13:00 WIB |
![]() |
Usai Dikunjungi Kaesang, Dokter Cantik Ragilda Rachma Optimis Sukses Melenggang ke Senayan Senin, 4 Desember 2023 | 18:18:33 WIB |
![]() |
Kunjungi Kota Malang, Kaesang Ajak Influencer Sosialisasikan Prabowo-Gibran Senin, 4 Desember 2023 | 18:03:10 WIB |
![]() |
OJK Berlakukan Sanksi pada Perusahaan Asuransi Senin, 4 Desember 2023 | 12:15:23 WIB |
![]() |
Dorong Pertumbuhan Ekonomi Inklusif, Menko Airlangga Setujui Pembentukan 3 KEK Baru Jumat, 1 Desember 2023 | 13:51:27 WIB |
![]() |
Resmi Berlaku Mulai Hari ini, Pembelian Rumah Hingga Harga Rp 5 Miliar PPN nya Ditanggung Pemerintah Kamis, 30 November 2023 | 11:02:14 WIB |
![]() |
Rencananya Tahun Depan Perusahaan BUMN Indonesia Mulai Produksi Baterai Mobil Listrik Selasa, 28 November 2023 | 12:48:08 WIB |
![]() |
Jokowi Bantah Klaim Eks Ketua KPK: Tidak Pernah Minta Penghentian Kasus e-KTP Setya Novanto Senin, 4 Desember 2023 | 12:23:05 WIB |
![]() |
Siap Jatuhi Sanksi Kepada Azlansyah, DKPP Tunggu Laporan Aduan Bawaslu Jumat, 1 Desember 2023 | 19:36:00 WIB |
![]() |
Terungkap Ternyata Jokowi Pernah Marah dan Teriak kepada Ketua KPK, Minta Kasus Korupsi E-KTP Dihentikan Jumat, 1 Desember 2023 | 18:31:12 WIB |
![]() |
Mahkamah Konstitusi Menolak Gugatan Ulang terkait Persyaratan Usia Capres-Cawapres Kamis, 30 November 2023 | 13:49:53 WIB |
![]() |
DKPP RI Putuskan Rehabilitasi Nama Baik Rahmat Bagja Terkait Dua Perkara Selasa, 5 Desember 2023 | 16:44:00 WIB |
![]() |
Jangan Bandel Ya! Bawaslu 'Pelototi' Penggunaan Dana Kampanye Pemilu 2024 Selasa, 5 Desember 2023 | 15:38:00 WIB |
![]() |
Berikut Daftar 7 Hakim Agung MA Yang Disetujui Dalam Paripurna DPR Hari ini Selasa, 5 Desember 2023 | 15:15:38 WIB |
![]() |
Bawaslu Inginkan Pemilih Pemula jadi Aktor Utama Pengawasan Pemilu 2024 Selasa, 5 Desember 2023 | 14:41:00 WIB |
![]() |
Tolak Hamas Berkuasa di Gaza, Wakil Presiden Amerika Kritisi Banyaknya Warga Palestina Yang Tewas Senin, 4 Desember 2023 | 09:44:39 WIB |
![]() |
Israel dan Hamas Perpanjang Gencatan Senjata Kamis, 30 November 2023 | 13:41:36 WIB |
![]() |
Desak PBB, UNICEF Tegaskan Jalur Gaza Adalah Tempat Paling Berbahaya di Dunia Bagi Anak-anak Jumat, 24 November 2023 | 10:25:11 WIB |
![]() |
Israel Akhirnya Setujui Gencatan Senjata di Gaza Usai Dimediasi Qatar Rabu, 22 November 2023 | 11:01:06 WIB |
![]() |
Radja Nainggolan Resmi Gabung Bhayangkara FC: Perjalanan dari Serie A ke Liga 1 Kamis, 30 November 2023 | 14:48:19 WIB |
![]() |
Piala Asia, Timnas U-23 Indonesia Berada Dalam Ancaman di Group 'Neraka' Kamis, 23 November 2023 | 22:30:53 WIB |
![]() |
Usai Kalah Dibantai Irak Dengan 5 Gol, Shin Tae-yong Pastikan Akan Ada Pembalasan Jumat, 17 November 2023 | 12:26:50 WIB |
![]() |
Delapan Perwakilan Indonesia di French Open 2023: Jadwal Lengkap Pertandingan Selasa, 24 Oktober 2023 | 14:16:00 WIB |
Jakarta, (Supernews)- Kalangan organisasi lingkungan mendesak pemerintah meninjau ulang rencana pemutihan kebun sawit di kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar di Indonesia. Mereka menyebut, kebijakan itu membahayakan lingkungan dan cenderung menguntungkan korporasi besar.
Seturut identifikasi Pantau Gambut, dari keseluruhan kebun sawit yang hendak diputihkan sekitar 407.000 hektar atau 13-14%, berada di kesatuan hidrologis gambut (KHG).Kawasan-kawasan itu berada dalam kategori rentan terbakar.
Wahyu Perdana, Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut mengatakan, sebanyak 72% kebun sawit di KHG yang akan diputihkan berada dalam kategori rentan terbakar tingkat sedang (medium risk), 27% kategori rentan terbakar tingkat tinggi (high risk).
“Analisa sepanjang 2023, medium dan high risk yang kami proyeksikan pada Maret (terjadi kebakaran hutan), itu terjadi sekarang. Di area KHG saja,” katanya, dalam keterangan bersama TuK Indonesia, Pantau Gambut dan Greenpeace Indonesia, 25 Oktober lalu.
Pantau Gambut juga mendapati 11 grup korporasi dalam skema pemutihan di KHG, yang punya histori luasan area terbakar pada karhutla 2015-2020. Temuan itu, mereka peroleh setelah mengolah data burn area Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
“Ironisnya, 91,64% pemegang konsesi tidak menanggulangi dan memulihkan kerusakan ekosistem gambut akibat karhutla yang terjadi di wilayahnya,” kata Wahyu.
Pantau Gambut juga mendapati, dari 32 perusahaan sawit yang beroperasi di area KHG, hanya lima yang benar-benar berada di ekosistem gambut dengan fungsi budidaya. Sedangkan, 27 perusahaan (84%) beroperasi di ekosistem gambut dengan fungsi lindung.
Atas situasi itu, Wahyu menilai, kebijakan pemutihan 3,3 juta hektar kebun sawit di kawasan hutan bertentangan dengan komitmen nationally determined contributions (NDC) Indonesia. Juga, menimbulkan pertanyaan terkait supremasi penegakan hukum bidang lingkungan hidup dan berdampak negatif bagi citra Indonesia sebagai pengusung ekonomi hijau.
Dari sisi ekonomi, Tuk Indonesia dalam studi kasus di Kalimantan Tengah (Kalteng) menemukan, realisasi pajak dari sektor sawit jauh dari potensi penerimaan. Padahal, pendapatan negara disebut sebagai salah satu alasan pemutihan kebun sawit di kawasan hutan.
Abdul Haris, pengkampanye TuK Indonesia mengatakan, dari potensi Rp6,4 triliun, perkebunan sawit di Kalteng disebut hanya mampu merealisasikan Rp2,3 triliun. Angka itupun disebut realisasi pajak dari seluruh sektor.
“Temuan itu menunjukkan tidak rasionalnya jadikan pendapatan negara sebagai alasan memutihkan kebun sawit di kawasan hutan,” katanya.
Ditambah lagi, dari 320 usaha yang akan diputihkan, hanya 72 terdaftar di Kalteng. Selebihnya, 173 usaha tak memiliki izin perkebunan.
Dia juga mengingatkan, lembaga jasa keuangan untuk memperhatikan masalah ini. Berdasarkan catatan Tuk Indonesia, terdapat 25 kelompok perusahaan besar yang mendapat sokongan pembiayaan dari lembaga jasa keuangan.
Perusahaan-perusahaan itu disebut memiliki total lahan perkebunan seluas 3,9 juta hektar di Indonesia.
Aris menilai, jasa keuangan tidak bisa terpisahkan dari masalah ini. Apalagi, produk-produk sawit di kawasan hutan akan mengalir ke negara-negara rantai pasok, seperti Amerika dan Eropa. Negara-negara yang disebutnya punya standar berkelanjutan.
“Ini seharusnya mejadi perhatian serius lembaga jasa keuangan dalam mengevaluasi pembiayaan terhadap perusahaan-perusahaan yang terbukti menanam sawit di dalam kawasan hutan, bahkan terlibat dalam kebakaran hutan,” katanya.
Tiga fase
Rencana pemutihan kebun sawit di kawasan hutan bukanlah yang pertama kali terjadi. Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, melalui PP 60 tahun 2012, pemerintah telah memberi peluang pelepasan kawasan hutan.
Syaratnya, pemegang izin di areal hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) wajib mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan kepada menteri. “Dengan batas waktu paling lama enam bulan,” katanya.
Pada fase kedua, PP 60/2012 diubah jadi PP 104/2015. Lewat PP ini, masa tenggang mengajukan pelepasan kawasan hutan juga bertambah jadi satu tahun. Selain itu, perkebunan di kawasan hutan lindung dan konservasi diberi kesempatan melanjutkan usaha selama satu daur tanaman pokok.
“Di kedua fase itu, perusahaan-perusahaan masih ekspansi kawasan hutan. Padahal, ada UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, tegas melarang aktivitas di luar kehutanan. Bawa golok saja bisa dipidana. Tapi perusahaan masih menebang di kawasan hutan,” ujar Syahrul.
Di fase ketiga, UU Cipta Kerja menyisipkan dua pasal dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Pasal 110 A menyediakan masa tenggang selama tiga tahu–hingga 2 November 2023–bagi setiap orang yang memiliki perizinan berusaha dalam kawasan hutan untuk menyelesaikan persyaratan. Juga, mengubah sanksi pidana jadi sanksi administratif, seperti denda atau pencabutan perizinan berusaha.
Lalu, Pasal 110 B mengatur pemberian sanksi bagi setiap orang yang tanpa memiliki perizinan berusaha, melakukan kegiatan lain di kawasan hutan, sebelum 2 November 2023.
Sanksi yang dimaksud adalah penghentian sementara kegiatan usaha, pembayaran denda administratif dan paksaan pemerintah.
“Perkebunan sawit yang beroperasi ilegal adalah pihak paling diuntungkan dengan UU Cipta Kerja. Termasuk Pasal 110 A dan 110 B yang memberikan peluang pemutihan untuk sawit-sawit ilegal di kawasan hutan ini,” lanjutnya.
Berdasarkan catatan Greenpeace dan TheTreeMap, total tanaman sawit dalam kawasan hutan di Indonesia seluas 3.118.804 hektar. Sawit-sawit itu juga berada di hutan konservasi dan lindung, masing-masing seluas 90.200 hektar dan 146.871 hektar.
Syahrul menilai, persoalan itu memperlihatkan tata kelola buruk, tidak ada transparansi dan penegakan hukum lemah. Alih-alih memperbaiki, pemerintah justru memutihkan kebun sawit di kawasan hutan.
Mereka mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membuka nama-nama perusahaan yang akan diputihkan pada 2 November ini.
“Artinya, setelah itu tidak ada lagi mekanisme pemutihan,” katanya.
Apa kata pemerintah? Bambang Hendroyono, Sekjen KLHK mengatakan, pendekatan hukum dalam UU Cipta Kerja adalah ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif.
Pengenaan sanksi administratif, katanya, untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat di dalam kawasan.
“Kebijakan ini hanya berlaku bagi yang sudah beraktivitas dalam kawasan sebelum UU Cipta Kerja. Jika masih melakukan kegiatan setelah UU Cipta Kerja disahkan, langsung kena penegakan hukum dengan mengedepankan sanksi pidana, tidak berlaku lagi sanksi administratif,” kata Bambang.
Luhut B. Pandjaitan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, menyebut, akan menindak tegas pelaku usaha yang tak menghiraukan upaya pemerintah memperbaiki tata kelola sawit.
Berdasarkan tangkapan satelit 2021, tutupan sawit diketahui mencapai 16,8 juta hektar, dengan 3,3 juta hektar dalam kawasan hutan. Dari hasil audit, pemerintah menemukan banyak perusahaan belum memiliki izin seperti Izin Lokasi, perkebunan, dan hak guna usaha.
“Kami berharap, persoalan ini dapat diselesaikan dengan mekanisme Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja,” kata Luhut dikutip dari situs Kemenko Marves.
“Ke depan, satgas akan mendorong setiap pelaku usaha berkewajiban melengkapi izin-izin yang diperlukan,” lanjutnya.**